
Pasal 46 Dihapus dari UU Cipta Kerja, Begini Kata Mantan Ketua MK
Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK), Jimly Asshiddiqie angkat bicara mengenai dihapuskannya Pasal 46 soal minyak dan gas bumi (migas) dari Undang Undang Cipta Kerja setelah disahkan DPR. Menurut Jimly, secara substansial mutlak tidak boleh ada perubahan saat UU tersebut disetujui oleh DPR dan pemerintah. Jika ada pihak yang ingin menggugat UU Cipta Kerja, Jimly mengatakan semua bahan dan bukti apa saja yang ada dan terbukti, bisa dipakai untuk menilai bahwa proses pembentukan UU itu cacat konstitusional.
Serta pengesahannya sebagai UU dinyatakan tidak berlaku mengikat untuk umum. Sedangkan pengujian materiil atas subtansi pasal pasal dan ayat UU dapat terus dilakukan terpisah dan pasti butuh waktu yang lebih lama. "Makanya dalam buku buku saya, selalu saya bedakan antara pengesahan materiel oleh DPR dan pengesahan formil (administrtif) oleh Presiden," ucapnya.
"Tapi ingat penilaian akhir ada pada kewenngan independen para hakim. Kita percayakan saja kepada mereka," pungkas Jimly. Diketahui, Pasal 46 UU Migas sebelumnya tercantum dalam naskah UU Cipta Kerja setebal 812 halaman yang dikirimkan DPR kepada Presiden Joko Widodo. Namun, pasal tersebut dihapus dari naskah UU Cipta Kerja setebal 1.187 halaman yang dikirimkan Sekretariat Negara ke sejumlah organisasi masyarakat Islam.
Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) menegaskan akan menggelar demo secara nasional di seluruh Indonesia jika Presiden Joko Widodo menandatangani UU Cipta Kerja. Presiden KSPI Said Iqbal mengatakan demo awalnya direncanakan akan digelar tanggal 28 Oktober. Namun, karena menyesuaikan dengan tanggal merah, maka aksi itu akan digeser pada tanggal 1 November 2020.
"Pertama, direncanakan tanggal 28 Oktober. Kalau presiden menandatangani UU Cipta Kerja, maka pada saat itu karena 29 Oktober tanggal merah, 31 Oktober hari Minggu, maka tanggal 1 November bisa dipastikan buruh buruh KSPI akan menyerukan aksi nasional di seluruh Indonesia. 20 Provinsi lebih dari 200 Kabupaten/Kota," ujar Said, dalam konferensi pers secara daring via aplikasi Zoom, Sabtu (24/10/2020). Said menegaskan para buruh tidak akan menggelar aksi unjuk rasa yang berujung kekerasan dan anarkis. Dia memastikan penyampaian aspirasi KSPI dan konfederasi buruh lainnya berlangsung secara damai.
"Aksi aksi buruh setidaknya oleh KSPI dan 32 konfederasi lain, kami mengambil prinsip anti kekerasan non violence. Tidak ada keinginan rusuh, tidak ada keinginan anarkis, tidak ada keinginan atau melakukan tindakan merusak fasilitas," jelasnya. Tak hanya aksi unjuk rasa secara nasional, Said mengatakan pihaknya juga akan mengajukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi (MK) begitu UU Cipta Kerja diteken oleh Jokowi. "Kami akan aksi besar besaran dan tanggal 1 November tersebut secara bersamaan kami akan bawa judicial reviewterhadap UU yang telah diberi nomor andaikan tanggal 28 Oktober atau sebelumnya ditandatangani," kata Said.
Said mengatakan aksi unjuk rasa akan menyasar wilayah Istana serta kawasan MK. Menurutnya, para buruh sepakat untuk berunjuk rasa hinggakeluar hasil keputusan dari MK atas gugatan UU Cipta Kerja tersebut. "Aksi dilakukan ke Istana dan MK aksi aksi tersebut sampai kita menang dan dikeluarkan keputusan MK. Tiada batas waktu, kapan saja kami akan persiapkan aksi aksi terstrukur, terarah dan
Politik desentralisasi terkendali era Presiden Joko Widodo (Jokowi) menjadi dasar lahirnya Omnibus Law UU Cipta Kerja. Omnibus law UU Ciptaker dinilai lahir sebagai jawaban pemerintah mengatasi rumitnya proses perizinan hingga masih adanya praktik jual beli perizinan berusaha. Demikian disampaikan Mantan Dirjen Otonomi Daerah (Otda) Kemendagri Djohermansyah Djohan dalam diskusi daring Populi Center bertajuk 'Omnibus Law dan Otonomi Daerah', Sabtu (24/10/2020).
"Pak Jokowi ini politik desentralisasi terkendali," katanya. Djohermansyah menjelaskan, politik desentralisasi era Presiden Jokowi yang diikuti dengan lahirnya Omnibus Law UU Cipta Kerja ini sebetulnya tidak menghapuskan kewenangan pemerintah daerah (pemda). Menurutnya, pada dasarnya peran pemda masih tetap ada tetapi pemda diwajibkan mengikuti NSPK (Norma, Standar, Prosedur, dan Kriteria) yang dibuat Pemerintah Pusat.
"Proses perijinan berusaha melalui OSS, sebagian kecuali bidang pertambangan ditarik ke pusat. Bila Pemda tidak bisa menjalankan kewenangan sesuai NSPK, kewenangan tersebut diambil alih pemerintah pusat," ujarnya. Menurut Djohermansyah, UU Cipta Kerja memilki tujuan baik dalam rangka politik desentralisasi terkendala ala Presiden Jokowi. Hal ini lantaran masih banyak proses perizinan hingga praktek jual beli terjadi di daerah.
"Mengapa? Karena adanya red tape, pelayanan perijinan berusaha tidak investor friendly, tidak ada standar, tidak terpadu, dan tidak ada kepastian penyelesaian jin, dan tata caranya rumit, terjadi praktik jual beli ijin, mengganggu penciptaan lapangan kerja," pungkas Djohermansyah. Ketua DPP PKS Mardani Ali Sera menyebut hadirnya Omnibus Law UU Cipta Kerja merupakan kado pahit bagi masyarakat di tengah pandemi Covid 19. Menurutnya, seorang pemimpin harus bisa melihat keadaan apa yang sedang dirasakan oleh masyarakat.
Hal itu disampaikannya dalam forum Indonesia Leaders Talk bertajuk 'Omnibus Law dan Lonceng Kematian Demokrasi', Jumat (23/10/2020) malam. "Inilah orkestrasi yang luar biasa ketika seorang leader betul betul mampu melihat apa yang ada dan dirasakan oleh masyarakatnya termasuk betapa beratnya publik terkena dampak Covid 19," kata Mardani. "Betapa tidak memiliki hati ketika dalam keadaan berat diberikan kado pahit Omnibus Law," imbuhnya.
Oleh karena itu, Mardani melihat bahwa karakter seorang pemimpin kultur dan sistem yang dibangun. "Sehingga saya menggarisbawahi pelajaran termahal bagi demokrasi adalah memilih pemimpin yang betul betul tepat," pungkas anggota Komisi II DPR RI itu. Ketua DPP PKS Mardani Ali Sera merasa bingung lantaran adanya pasal yang dihapus dalam UU Cipta Kerja setelah disahkan.
Diketahui, pasal 46 soal minyak dan gas bumi (migas) dihapus dari Undang Undang Cipta Kerja. Menurutnya, hal itu akan menurunkan kepercayaan publik. "Ini kian membingungkan. Dan kian menurunkan kepercayaan. Bukan proses yang menunjukkan sikap profesional," kata Mardani kepada wartawan, Jumat (23/10/2020).
Selain itu, Mardani menilai wajar jika masyarakat bertanya tanya dan ragu terhadap pengesahan UU Cipta Kerja. Anggota Komisi II DPR RI itu pun meminta pemerintah dan DPR memberikan penjelasan terkait penghapusan pasal 46 tersebut. "Wajar jika publik kian bertanya dan ragu. Pimpinan DPR dan perwakilan pemerintah mesti menjelaskan bersama apa yang terjadi," pungkasnya.